Tak terasa sudah bagian Murakami, nomer ke-22 bagian Puella Roris. Izinkan aku bercerita sedikit.
Aku sebelumnya tak tahu apa itu Murakami, sampai mendekati pertemuan dengan orang yang sudi menerjemahkan karyaku. Karya belum jadi. Masih ada di kepala.
Dan setelah pertemuan dengan Sang Penerjemah, aku langsung berpikir untuk menulis otobiografi, lalu "eh tidak, tidak" menjadikan naskah tersebut adalah jelmaan dari karya pertamaku, yang berjudul A Girl with The Morning Dew, tentang sang pujaan hati si lakon. Si lakon yang sudah kepincut selama lima tahun, dan selama lima tahun itulah ia tak pernah sedikit pun menyapa Gadis Itu. Biar pun, aku hanya bisa berkata "mudah-mudahan karya pertama ini, berhasil diterbitkan setelah naskah berjudul panjang yang kamu baca ini."
Sebab disanalah aku melihat puisi. Dan membayangkan logika "bagaimana orang sampai mau membaca sekedar permainan kata itu". Itu metafisika, atau entahlah. Sesuatu yang akhirnya menjadi estetika keindahan.
Tentang A Girl with The Morning Dew
Ini sebenarnya berasal dari pengalaman nyata. Ya biasalah, cinta-cintaan. Tapi akhirnya pun, walau patah hati dan kedinginan dalam kerinduan itu, aku menyadari bahwa puisi-puisi yang kutulis secara tidak sengaja, di dinding status Facebook, berbuah manis.
Aku menyukai karya pertamaku, walau aku tak mendapatkan peringkat saat naskah ini diikutkan ke kontes novelet, sebuah penerbit konvensional yang hanya menerima naskah minimal ratusan halaman.
Sebagai orang yang memulai kesusastraan lewat puisi, tentu bagiku nihil, terlalu berimpian tinggi, jika aku berhasil membuat novel berhalaman sebanyak itu. Jadi inilah, karya-karyaku terbiasa dalam tempo sesingkat-singkatnya.
Tentang Puella Roris, Sebuah novel Berjudul Panjang
Dia telentang disana, tangannya menyilang di belakang kepala.
Dia capek, seperti para pengrajah syair-komputer, dia capek dengan kegilaan.
Dia capek dengan persaingan.
Dia capek dengan uang.
***
Uang adalah simbol, eh, pemicu petaka. Uang adalah kejahanaman.
Tapi biar begitu, ia tetap perlu uang. Dan penerbit independen umumnya tidak memfasilitasi secara gratis.
***
Cerita ini dihidupkannya dengan bara api seks, namun ketika ia baca ulang, sama dengan waktu ia menuliskannya: seksnya enggak terasa.
Malam-malam, hampir tiap malam ia berkutat dengan pornografi, mencari sesuatu di balik itu, tapi yang ia temukan tidak ada. Dan dia juga enggak ereksi.
Ia menyadarinya, ketika Gadis di Ujung Senja yang asli, yang non-pseudo, memeluknya, ia merasakan "pencerahan" (atau apalah, yang ia yakini sebagai petunjuk, yang sering dialami bissu-bissu di Kalimantan itu).
Ia, dengan secara nyata, kehilangan nafsu kepada perempuan.
Biar pun itu hanyalah gambar.
***
Judul sampul itu, "Secangkir Kawa untuk Berdua" yang kalau dalam bahasa Inggris, "A Cup of Coffee for Two Others".
"Others" bukan "We" atau "Me And You", sebab penulisnya barangkali, yang juga merancang sampulnya, memilih untuk sastra ini diabadikan di masing-masing Orang Lain. Dengan Kata Lain (meminjam istilah Masashi Kishimoto di Naruto), ia dan tokoh bernama Eva disini, bukanlah sepasang kekasih secara betul-betul.
***
Eva adalah kawan terbaiknya, perempuan pertama yang ia rasakan dekapan hangatnya. Dekapan itulah, yang akhirnya membuat ia terpicu untuk menulis Puella Roris berjudul panjang ini.
Walau Puella dengan kata "Roris" berbeda jauh dengan sebuah buku yang menceritakan "Roro Mendut" sang perempuan Jawa pengisap rokok, ini tetap memiliki keterkaitan. Walau, Puella Roris juga mendekati ke sastra Tionghoa Indonesia yang di-Jepang-jepangkan dengan cara membuat Ranting Cerita-nya.
***
Eva, adalah perempuan yang pergi dari Indonesia, yang sangat jauh dan entahlah kemana.
***
Jadi, Say To You, Say To All ini dipersembahkan bukan hanya untuk Eva, tapi juga orang-orang yang mengecewakan seperti Gunnur, Anak yang Tiap Hari Menangis Mengganggu Kerja, bahkan Si Dramawan Tak Bernama.
Aku merasa, aku semakin lemah. Impian dan angan-angan atas masa lalu sudah jauh. Kretek habis terbakar, jangan sungkan-sungkan meski begitu, 'tuk mengejek karyaku. Aku juga minta maaf, kalau sampai menyakiti hati. Hati siapa pun, aku minta maaf.
Sepenggal Puisi
Hujan.
Lagi-lagi hujan.
Di toko kopi "Kartini" ini, sebenarnya sering berdatangan pengunjung, dari mancanegara, yang pulang-pergi dengan cerita-cerita Yang Tersampaikan Dan yang Tidak Tersampaikan. Mereka datang lalu hilang, ada yang kembali atau memilih/terpilih tidak kembali.
***
Suara menceracau.
Dua orang lagi. Lagi-lagi membahas ke-filosofi-filosofi-an, lantas disahuti satu orang di meja yang lain.
Lagi, tentang hujan. Lagi, tentang kopi.
Tapi kali ini, kopinya berasal dari daun kawa. Konon menjelaskan sejarah orang-orang West Sumatera yang tak diperbolehkan minum, sekedar secangkir kopi asli dari kampung mereka sendiri. Mereka menyebut para pelarang itu sebagai Misionaris Non-Muslim.
Sebab, pernah ada zamannya di Barat, kaum agamawan mereka menyebut kopi itu "minuman setan".
Entah karena itu orang-orang itu terlihat seperti itu, alih-alih murung dan tak mengenakkan hati para penduduk Asia-Afrika dengan kemuraman wajahnya, mereka memilih begitu menghargai Asia-Afrika dengan cara lain: tersenyum dengan seksi.
***
Seorang orientalis, datang ke Jogja dan langsung mengeluhkan budaya West Sumatera. Ia sendiri dari Suriname, yang penasaran dengan silsilah kakeknya yang sangat baik hati kepadanya.
"Tapi yang kutemukan malah lagu-lagu Minang yang bersedih-sedih. Dasar, tidak tahu bersyukur. KTPnya saja yang Islam, tapi tidak tahu cara berterimakasih kepada Tuhan."
Seorang di antaramu, yang tadinya membahas soal hujan yang berbadai, langsung bangkit pindah duduk ke meja yang sama dengan si orientalis.
"Kami memang begitu."
Orientalis tersentak.
"Kami selalu menyenandungkan kesedihan sejak piringan-piringan gramofon, tapi satu hal yang perlu kamu tahu: kami Barat."
Orientalis yang tersentak ini, tergagap-gagap walau tanpa suara.
"Kami bergejolak," kata si orang hujan, "Kami selalu tak puas dengan keadaan. Karena itu kami sering berganti-ganti suasana dengan bertukar pendapat. Dan kami juga percaya, ide cemerlang yang ditemukan pada anak-anak usia dini itu tidak berasal dari kepintaran atau kesaktian.
Tapi dari sini." katanya, menunjuk ke dalam dada.
Sekian.
Komentar
Posting Komentar