Puella Roris adalah sebuah judul novel yang teramat Puella Roris, dalam dan menyayat jantung Puella Roris. Sehingga Puella Roris barangkali harus dinikmati Puella Roris sampai mati. (Bagian 8)
8. Gadis di Ujung Senja
"Kau tahu? pernah kubilang ke seseorang di Salju di Mesopotamia. "Aku berasal dari sana,"
Aku menunjuk ke langit. Ke rasi bintang berbentuk kupu-kupu, tak terlihat, namun dengan kenyataan setajam mata elang.
Kenyataan ini, Kenyataan Setajam Mata Elang, akan sampai ke suatu titik dimana bumi telah bertahun-tahun melewati zaman Antroposen.
Dengan kata lain: zaman saat manusia sangat berpengaruh di muka bumi.
"Oh, ya" kata seseorang, Dimana kamu berasal?
"Gliese." kataku, Aku mencuri pesawat ulang-alik milik Pseudo-NASA. Aku tahu, saat itu ekosistem kami akan segera melebur menuju kehancuran.
"Oh, ya? Kenapa memangnya?"
"Dewa Hujan. Ia cemburu karena seorang dewa perempuan yang dipanggil Gadis Senja, lebih menyayangi kami. Padahal, Dewa Hujan tak pantas menikahi Gadis Senja karena sudah kawin empat belas kali."
"Oh, ya? Aku tak percaya."
"Silakan saja tak percaya.."
"Maksudku, katanya, Aku tidak percaya karena kamu bentuknya manusia.
Maka kujelaskan, bahwa aku terlahir di rahim seorang ibu di daerah Padang, di pesawatku ada sistem Pendaratan Darurat, dan melalui cara itulah aku masuk.
***
Tapi, ini bukan lagi di toko kopi. Dan aku sudah lupa bualan itu.
***
Ini, aku di sebuah sore yang mendung setelah hujan.
Aku berjalan dari tempat kerjaku di toko foto kopi, tidak ada pelanggan hari itu.
Mereka barangkali sedang terlelap, sebab tak satu pun rumah yang terbuka.
Di ujung jalan, terdapat sebuah piringan melayang di udara. Sepertinya berasal dari serat karbon.
Seorang perempuan, setengah telanjang, yaitu tubuhnya ditutupi oleh semacam pakaian lateks, berambut keemasan dan berwajah seperti aktor Hollywood--
Datang kepadaku.
"Siapa namamu?" katanya.
Aku terdiam, atau tergagap, adalah sama saja.
Kusebutkan nama asliku? Tidak, aku hanya bergumam, "Cinta..?"
"Kalau begitu namaku Sayang~" dia menggapaiku dengan gerakan kemayu, dia mendekatkan diri padaku.
Kami berciuman.
Dalam.
***
Itulah, yang mengingatkanku atas kau, Eva.
Tapi kau dengan Kartono terlalu asyik, Kartono memuja-mujamu, memberimu setumpuk khayalan. "Rumah di pulau Mentawai." katanya, walau tak tahu apa-apa tentang West Sumatra.
Tahu sih, tapi mungkin cuma sedikit.
Komentar
Posting Komentar