Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari April, 2017

Buku-buku yang Menggoda: Seorang Kuli Bangunan

Ibu pernah berkata, bahwa Jodie Foster itu sama dengan Nurul Arifin. Setiap filmnya bagus-bagus. Mereka memang pandai bermain peran. Catat. Bukan berakting. Catat. Bukan berbohong. *** Buku-buku itu juga sama," kata ibu. Atau ayah. Atau paman yang kolektor buku. Adik tiri ibu. Mereka semua berkata begitu. *** Paman yang kolektor buku, berkata "Setiap buku harus dijaga, kalau perlu disimpan kembali ke lemari. Museum? Bisa jadi, bisa juga jika: setiap buku yang bertanda-tangan penulisnya, dilelang." Maka aku pun menjaga buku-buku supaya tidak rusak. Namun tanganku kapalan, akulah kuli bangunan yang disebutkan di judul itu. Tiap-tiap pekerjaanku berat. Tak ada yang sanggup di antara keluarga kami. Kata ibu, waktu aku kecil, orang yang disebut adik tiri ibu itu pernah, menemukanku, di suatu tempat. Lebam sana-lebam sini. Biru-membiru-ungu. Tidak. Tidak terlalu ungu. Namun biru. Orang-orang mulai menghebohkanku.

Arts Objektifiti: Seperti Rindu Dengan Kata-kata Pascakolonial, Dan Dendam Padanya Haruslah Dibalas

Entah grammar judulnya salah, entah betul. Tapi judulnya secara Indonesia-nya sangat panjang: Perkembangan Industri Perfilman di Indonesia . Bukan panjang harfiah, panjang kiasan. Kiasan yang sudah dipakai puluhan tahun, dan harus diganti dengan industri terbaru. *** Ya, ini tentang industri. Mau itu industri rumah tangga atau pabrik Semen Padang yang debu-debu brengsek nya sampai ke rumah-rumah penduduk, ini tetap industri. Industri di zaman sekarang, tampak sangat idealis dengan kemampuan-kemampuan pelakunya dari label dagang; mau itu ijazah, akreditasi, sampai "kepastian" dari lakunya industri itu sendiri. Tapi apakah laku, jika "kepastian" itu semu? Para orang pintar-orang pintar menjelaskan metode-metode metafisika sedemikian rupa, lalu mereka menyerah dengan alasan "Ah.. Inilah hidup, inilah epistemologi." Lalu dengan gamblang secara sembrono mereka menetapkan Hukum-hukum Kepastian dengan cara pembatasan, dan pembatasan dan pembatasan. Anak-a

Derai-derai Kayu Cemara di Suatu Tempat di Norwegia

Bung, merokok hidung itu, seperti berhadapan dengan hantu." kata Datuk Inyo yang Terbuang, sambil menggaruk-garuk kepalanya yang botak. Benar saja, ketika aku pertamakali berhadapan dengan hantu, itu sudah lama sekali, sebenarnya, ada perasaan seperti membakar cerutu lalu asap yang dihisap itu dihembuskan melalui hidung. Terkadang, jika kita sudah terbiasa mengepulkan asap dari hidung, terkadang dia akan terasa tidak terlalu sakit. Tapi pada mulanya, justru sangat berbeda. Seringnya, akan pedih bukan main ketika asap itu tidak terbiasa, melewati dua lubang pernafasan. Dua sekaligus dengan pedih yang memedihkan serta sangat serius. Ada kalanya pula, asap yang mau dihembus-hidung, seperti keluar lewat mulut. Secara biasa. Dan itulah kretek, dia hidup lewat rasa rempah-rempah. Khas negeri terjajah, sensasi dan cita rasa internasional. *** Agam, kakakku satu-satunya, yang Indigo, selalu dengan keterbatasannya yang tidak sehebat anak-anak Kristal; yang selalu mengerti dan teratur

Litak cerpen bola-bola West Sumatra, Litak yang menggambarkan Litak keadaan daerah, Litak yang sosialis Litak adalah paham wong Litak cilik Litak yang Litak dikarang Litak anti-Manchester United

"Harus West Sumatra! Nggak boleh Sumbar!! Apalagi Sumatra Barat: haram! Haram jatuhnya!!" Begitulah, kata-kata Datuk Inyo yang Terbuang, yang berkumis tipis dan berkepala botak; meski ada sedikit rambut tipis di kepalanya. Dia bilang itu tahalul, supaya bisa masuk MU atau Nurdiniyah. Kedua kelompok itu memang sudah terkenal, jauh di luar sana, di suatu tempat nan disebut Jepang van Indonesia, nan para pengikut kedua sekte populer seperti ada seorang, Sufi Bin Tele. Kabarnya, ia banyak menulis puisi di internet dan mendapat sambutan hangat dari para sastrawan koran-koran nasional. Selera memang selera." pernah satu kali, kawan Datuk bernama Tedi Hutan, nan tubuhnya penuh jamur dan koreng. Mengingatkanku pada tulisan Eropa, entah siapalah namanya, yang berjudul kira-kira: Cinta Sekalipun Kolera. Penulis yang sedang naik daun, bernama Eka pun, segan pada Penulis Kolera ini, entah tulisan itu dikatakan Eka sebagai puisi atau novel epik, tak jelas kudengar waktu Eka mengo

"Alternativisme Dalam Puisi Jon Ladiang" oleh Emil Rezam

Heru Joni Putra atau lebih lengkap dipanggil "Jon Ladiang" karena kritik-kritiknya yang mendalam terhadap puisi, misalnya saat ia membacakan puisi penyair favoritnya, Gus Mus, atau "jangan panggil ia begitu," barangkali kata Jon Ladiang, "panggil ia KH. Mustofa Bisri. Dan aku akan membacakan puisi yang akan dimasukkan ke Instagram." Dan di Instagram aku menikmati deklamasinya, bung Jon membacakannya dengan aksen Minangkabau khas Padang, sepertinya. Bukan Bukittinggi atau Agam yang cenderung tertib. Padang adalah tempat paling egaliter, yang nomer dua barangkali Agam. Dan Bonjol? Jangan ditanya, sebab ke-Suharto-suharto-an mulai menanjak, apalagi para habib yang mengangkat dirinya sebagai anak Nabi Muhammad SAW. Karena Orde Baru tersebut. Di tempat egaliter, orang boleh beda pendapat, dan boleh satu pendapat pula. Tapi tidak boleh meniru, dan rupanya inilah, yang dilihat oleh Heru Joni Putra terhadap karya "Bila Kutitipkan". Jon Ladiang yang te

Mimpi Murakami, Murakami Bermimpi (22)

Aku berkutat untuk terus menjaga, merokok kretek. Kretek rasanya bermacam-macam dalam satu kretek. Jika dicampur kerupuk, akan jadi rasa kerak nasi, jika disambil dengan minum kopi, sama dengan rasa teh. *** Makanya aku menghujat rokok putih. Tapi Eva merokok putih. Dalam mengingatku. *** Mimpi 4 April 2014, eh, 2017-- Aku berjalan ke warung 'tuk membeli gas buat ibuku memasak. Udara di pagi yang cerah ini, aku menghela nafas untuk menikmatinya. Nafasku berasap, eh, berembun. Tapi udara pagi ini cerah, tak ada alasan untuk Embun. *** Aku pergi ke pantai, nafasku masih berasap. *** Aku terbangun bersama Eva di ujung jembatan, turun kesana 'kan ada ayunan. Aku berkata-kata dengan mulut berasap, aku berkata-kata Eva, kau jangan tinggalkan aku. Kau menyuruhku 'tuk diam. Aku mati kata. *** Tapi kata bukan sekedar kata. Kopi dan hujan, yang diminum Gadis Embun Pagi sambil mengobrol dengan Gadis di Ujung Senja tentang "Siapakah penyair Bram?", di meja

Puella Roris adalah sebuah judul novel yang teramat Puella Roris, dalam dan menyayat jantung Puella Roris. Sehingga Puella Roris barangkali harus dinikmati Puella Roris sampai mati. (Bagian 8)

8 . Gadis di Ujung Senja "Kau tahu? pernah kubilang ke seseorang di Salju di Mesopotamia. "Aku berasal dari sana," Aku menunjuk ke langit. Ke rasi bintang berbentuk kupu-kupu, tak terlihat, namun dengan kenyataan setajam mata elang. Kenyataan ini, Kenyataan Setajam Mata Elang, akan sampai ke suatu titik dimana bumi telah bertahun-tahun melewati zaman Antroposen. Dengan kata lain: zaman saat manusia sangat berpengaruh di muka bumi. "Oh, ya" kata seseorang, Dimana kamu berasal? "Gliese." kataku, Aku mencuri pesawat ulang-alik milik Pseudo-NASA. Aku tahu, saat itu ekosistem kami akan segera melebur menuju kehancuran. "Oh, ya? Kenapa memangnya?" "Dewa Hujan. Ia cemburu karena seorang dewa perempuan yang dipanggil Gadis Senja, lebih menyayangi kami. Padahal, Dewa Hujan tak pantas menikahi Gadis Senja karena sudah kawin empat belas kali." "Oh, ya? Aku tak percaya." "Silakan saja tak percaya.." "Maksudk

Puella Roris adalah sebuah judul novel yang teramat Puella Roris, dalam dan menyayat jantung Puella Roris. Sehingga Puella Roris barangkali harus dinikmati Puella Roris sampai mati. (Bagian 7)

Rokok membuatku menjadi lemas. Dia nikmat maupun mematikan-- Aku semakin lemah. Di dunia yang kering ini, aku merasa semakin tua. *** Gadis Embun Pagi, karena aku sering mengimpikan mencium aroma tubuhnya, kembali seperti dulu, datang. Dia datang saat hujan. Mengenakan pakaian kemeja putih-rok abu-abu, menerobos hujan. Melewati pagar putihku. *** "Velly?" katanya memastikan, lalu bergegas memburu. Datang padaku. Aku tak siap dengan apa gerangan yang akan terjadi. Di bawah hujan, langkahnya berderap. Memburuku. Aku sempat menangkis entahlah apa yang akan datang, tapi kecepatan dan kesadarannya yang sungguh-sungguh-- Menarikku ke dalam hujan. *** Gadis Itu membuka bajuku, membuangnya dengan cara berantakan, membuka juga celanaku. Ia, tanpa kusadari sudah setengah telanjang. Aku menjauh karena jijik dengan lemak-lemak di dadanya yang berselemak-peak. Dia menarikku. Aku tak bisa atau tak sempat apa-apa, dia membenamkan kepalaku ke lemak-lemaknya, yang meski hangat

Say Thank's to You, Say Thank's to All

Tak terasa sudah bagian Murakami, nomer ke-22 bagian Puella Roris. Izinkan aku bercerita sedikit. Aku sebelumnya tak tahu apa itu Murakami, sampai mendekati pertemuan dengan orang yang sudi menerjemahkan karyaku. Karya belum jadi. Masih ada di kepala. Dan setelah pertemuan dengan Sang Penerjemah, aku langsung berpikir untuk menulis otobiografi, lalu "eh tidak, tidak" menjadikan naskah tersebut adalah jelmaan dari karya pertamaku, yang berjudul A Girl with The Morning Dew, tentang sang pujaan hati si lakon. Si lakon yang sudah kepincut selama lima tahun, dan selama lima tahun itulah ia tak pernah sedikit pun menyapa Gadis Itu. Biar pun, aku hanya bisa berkata "mudah-mudahan karya pertama ini, berhasil diterbitkan setelah naskah berjudul panjang yang kamu baca ini." Sebab disanalah aku melihat puisi. Dan membayangkan logika "bagaimana orang sampai mau membaca sekedar permainan kata itu". Itu metafisika, atau entahlah. Sesuatu yang akhirnya menjadi estetik

Then Like That, Westren Appreciate: Sebuah Catatan Dedi Rimbo

Minangkabau adalah dunia makna dan kerajaan khayal. Dan ekspresi merupakan salah satu metode penyampaian "sign" yang akan menjadi simbol untuk dimaknai. Ekspresi.., dialah cara atau "caro" dalam istilah orang minang. Caro sendiri adalah ekspresi dari adat yang ternyata diadatkan secara turun temurun. Semisal "bukan perpisahan yang kutangisi, tapi 'caro'-nyo ndak lamak". Maknanya adalah seseorang tersebut tidak tangguh dan tidak mempersoalkan " perpisahan", akan tetapi memperkarakan tentang CARA berpisah. Begitu juga tentang apresiasi, jika ditelusur dari kehidupan orang Minang yang lebih mengandalkan bahasa tutur ketimbang prasasti atau tulisan, apresiasi disampaikan dengan berbagai ekspresi dan menggunakan simbol atau CARA yang beragam. "Mengata-ngatai" karya seseorang bukan berarti menghina karya tersebut, melainkan sebuah simbol apresiasi terhadap karya tersebut, dan bahkan meyakini dengan sangat bahwa yang bersangkutan mam

Dimensi Murakami, "Kafka On the Shoes" (22)

Eva betul-betul demensia. Ia menganggapku sebagai pacar gelapnya karena anak itu, Byoma, yang dikiranya, walau memang tanggung jawabku, tapi Byoma dikiranya akan marah benar-benar. Tapi Eva berkelit, ia sembunyi di balik sepatu, eh maksudku, di dalam kardus mie instan bermerk "Kafka". Ia memang agak-agak seperti itu. Kardus mie instan kubawa ke dalam bagasi pesawat, saat petugas tanya "Kamu bawa boneka bidadari?" kujawab iya. Dan saat petugas lain menanya , "Kamu bawa lukisan Monalisa, eh, buku Mati Mona, ya?" kujawab iya, eh enggak - eh iya. *** Eva, aku tahu kau bosan dalam bagasi, tapi sabar ya, Sayang? *** Di pesawat aku membaca majalah, disana tertulis: "NASI" Naifnya Amerika untuk Sastra Indonesia. Buku-buku John Green adalah kemerosotan Indonesia dalam budaya populis.. kubaca sebentar bagian awalnya. Tapi. Aku enggak enak sama Eva, dia sudah mau jauh-jauh pakai dus di bagasi ke Padang, malah kubaca berita brengsek itu. "K

Latar Belakang si Puella Roris

Pada Epilog, orientalis berkata bahwa dia tidak suka budaya Minang. Padahal sebaliknya, ia justru heran, karena para pemikir cemerlang Indonesia mayoritas berasal dari daerah tersebut. Dan "heran", tentu karena ada rasa ketertarikan. Orang-orang Minang, menjalani hidupnya di antara Badai Kegelisahan serta Kutukan Waktu. Kutukan Waktu, adalah yang membuat mereka selalu santai dalam bekerja. Menjalankan hari-hari mereka. Saya sempat merasa bahwa ini adalah semacam sifat malas, yang terbudaya dalam diri orang Minang. Keburukan-keburukan selain mereka yang menyenandungkan lagu-lagu kesedihan sebagai seni, serta turut mengaplikasikan seni tersebut dengan mengejek dan menertawakan orang memakai lagu-lagu itu. Misalnya ketika ada orang yang memakai bahasa Indonesia dengan aksen formal, terkesan dari Jakarta, dan penampilannya sangat rapi dan bergaya, tapi tak pernah sedikit pun mencoba bahasa Minang; mereka akan menyanyikan lagu Takicuah di Nan Tarang (semacam lagu bertema orang-