Pada Epilog, orientalis berkata bahwa dia tidak suka budaya Minang. Padahal sebaliknya, ia justru heran, karena para pemikir cemerlang Indonesia mayoritas berasal dari daerah tersebut. Dan "heran", tentu karena ada rasa ketertarikan.
Orang-orang Minang, menjalani hidupnya di antara Badai Kegelisahan serta Kutukan Waktu. Kutukan Waktu, adalah yang membuat mereka selalu santai dalam bekerja. Menjalankan hari-hari mereka.
Saya sempat merasa bahwa ini adalah semacam sifat malas, yang terbudaya dalam diri orang Minang. Keburukan-keburukan selain mereka yang menyenandungkan lagu-lagu kesedihan sebagai seni, serta turut mengaplikasikan seni tersebut dengan mengejek dan menertawakan orang memakai lagu-lagu itu. Misalnya ketika ada orang yang memakai bahasa Indonesia dengan aksen formal, terkesan dari Jakarta, dan penampilannya sangat rapi dan bergaya, tapi tak pernah sedikit pun mencoba bahasa Minang; mereka akan menyanyikan lagu Takicuah di Nan Tarang (semacam lagu bertema orang-orang yang tertipu pada sesuatu yang jelas-jelas di hadapan mereka), yang menyindir serta mengingatkan pepatah "Dimana bumi di pijak, disitu langit di junjung", yang melambangkan kerendah-hatian yang harus ada sekalipun kita tahu sesuatu yang orang tidak tahu, sebab sebagai perantau, orang-orang pasti sudah sama-sama tahu bahwa Dialah yang Terpilih Di Antara Sekian Orang di Kampungnya (sebab, jika daerah perantauan memang bagus, mengapa tidak semua orang di kampung itu, semuanya pergi kesana?)
Mereka sadar, mereka tak mampu mengalahkan waktu. Ketika pikiran menjadi membabi-buta, waktu menjadi liar. Dan tentu, orang-orang perantau yang petualang itu lebih liar daripada yang hidup damai di desa-dasa. Sebab liar artinya "bebas". Sedangkan pada Kutukan Waktu, berbagai hal menjadi dapat dikendalikan, seperti para leluhur Penguasa Nusantara yang mengandalkan mitologi-mitologi untuk mengatur rakyatnya.
Saya justru belajar ini bukan dari orang Minang, untuk mengerti ini. Saya belajar dari Eka Kurniawan, seorang penulis keturunan Sunda. Tetapi, tetap saja ia mengaku "keturunan Sunda", bukan "penulis Sunda".
Sebab ia pernah menulis dalam blognya, "Sastra kita takkan pernah maju jika merasakan dua hal: yang pertama adalah merasa memiliki budaya sastra yang besar, dan kedua adalah rendah-diri atas budaya sendiri."
Dan saya mengambil dan memakai opini tersebut dalam menulis buku ini. Buku yang saya tulis selama berada di Jogja, dengan setting hanya di dua tempat: Jogja dan Dunia Pseudo.
Ketika menulis Dunia Pseudo, saya tidak mengkhayalkan berada di tempat tersebut, seperti misalnya saya mengkhayalkan Massachusetts saat bersama Eva, penerjemah saya yang kampungnya benar-benar disana. Saya tidak takut ada kesalahan, sebab saya mengklaim ke-mustahilan kesempurna-an, seperti dalam puisi yang saya tulis di sampul belakang.
Ya, saya juga mengerjakan sampul itu dengan gaya santai orang Minang. Tapi lebihnya, ketika saya merasa bahwa santai orang Minang itu kelewat malas, saya pun memakai ke-Jogja-an saya. Orang Jogja benar-benar ahli dalam mengapresiasi.
Lalu bagaimana dengan Sunda? Ketika saya sempatkan memahami Sunda di Garut, selama satu bulan mendekam di pesantren ekologi Kebonsawah yang didirikan oleh para aktivis Serikat Pertanian Pasundan, yang otomatis ke-Sunda-annya sangat kental, saya memahami bagaimana menghargai diri sendiri. Melakukan apresiasi terhadap pribadi, yang sebenarnya bukan kepunyaan saya namun kepunyaan Tuhan, yakni memberikan rasa terimakasih kepadaNya yang telah meminjamkan kesempatan untuk "merasa memiliki", ialah benar-benar sesuatu yang tidak sempat saya kerjakan selama ini.
Untuk itu saya ucapkan kepada saudara-saudara saya sesama manusia, baik di ketiga tempat yang saya pernah jalani maupun kultur-kultur lain yang sempat mempromosikan dirinya kepada saya.
Saya benar-benar berterimakasih.
Komentar
Posting Komentar