Entah grammar judulnya salah, entah betul. Tapi judulnya secara Indonesia-nya sangat panjang: Perkembangan Industri Perfilman di Indonesia.
Bukan panjang harfiah, panjang kiasan. Kiasan yang sudah dipakai puluhan tahun, dan harus diganti dengan industri terbaru.
***
Ya, ini tentang industri. Mau itu industri rumah tangga atau pabrik Semen Padang yang debu-debu brengseknya sampai ke rumah-rumah penduduk, ini tetap industri.
Industri di zaman sekarang, tampak sangat idealis dengan kemampuan-kemampuan pelakunya dari label dagang; mau itu ijazah, akreditasi, sampai "kepastian" dari lakunya industri itu sendiri.
Tapi apakah laku, jika "kepastian" itu semu? Para orang pintar-orang pintar menjelaskan metode-metode metafisika sedemikian rupa, lalu mereka menyerah dengan alasan "Ah.. Inilah hidup, inilah epistemologi."
Lalu dengan gamblang secara sembrono mereka menetapkan Hukum-hukum Kepastian dengan cara pembatasan, dan pembatasan dan pembatasan.
Anak-anak mereka diajarkan cara duduk memakai seragam di sekolah, Hei! Makan itu pakai tangan kanan, dan sebagainya, dan sebagainya.
"Lha, ini kan etika?"
Bung, dengar, Bung! Etika tidak ada tanpa estetika, kelakuan umum yang selama ini dianggap manusiawi, selalu berasal dari yang namanya ke-in-dah-an.
Keindahan? Kata siapa ini indah, itu indah? Ya kata komunitas tertentu. Orang putih mau mengkulitkan diri mereka dengan cara eksotis, orang Indonesia kepengen seputih Korea. Dan bangga waktu anak mereka Londo.
Itu sama, eh, bagaikan: orang yang hidup di dataran tinggi yang dingin, merindukan, atau paling tidak, mengkhayalkan bahwa ada tempat yang lebih menarik di suatu tempat jauh disana.
Seperti pantai? Ah, tidak harus! Orang pegunungan yang sehari-hari turun gunung untuk menghadapi lawan-lawannya, pastilah bosan dengan cara kontra seperti itu.
Itulah sebabnya Ajo Kawir, dalam novel Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas melakukan pengembaraan a la sufi. Dia yang dulu tukang cari masalah, pengen bunuh diri, jadi tukang pukul seorang semacam rentenir seperti Paman Gembul, berubah.
Ia berubah menjadi orang yang tenang, menganggap kematian telah berada di dalam dirinya, dan menolak ajakan beradu pukul apa pun yang terjadi.
***
Zaman berubah, di kitab-kitab suci buatan ahli tafsir telah dijelaskan "Alam itu berubah".
***
Dan Barat, mengapa Sutan Sjahrir mengatakan orang Indonesia "harus barat..-", yang kata-kata tambahannya, "Ini negara pemegang kunci kekuasaan" kata Tan Malaka, kata Sutan Sjahrir "Orang Indonesia harus memiliki idealisme Barat, seperti Faust, yang menggelora, bergejolak, penuh rasa ingin maju."
Walau bukan berarti kita harus meniru kesemuaannya dari Barat, tetapi lebih kepada "Apa, yang sudah dipelajari Barat, yang dulu jauh-jauh ke Timur, apa yang telah mereka pelajari?"
***
Dan ketika film dengan idealisme kemandirian dari Seperti Rindu, Dendam Harus Dibayar Tuntas-- yang memilih jalur independen, para pelakunya pun harus memiliki tata cara yang serupa, "Tapi ingat! Bukan mengkultuskan!"
Balpoin yang digenggam oleh Eka Kurniawan saat menggoreskan novel bertema ironi ini, yang satir kepada satu jenis tokoh namun juga non-satir pada jenis tokoh lainnya, mencerminkan keberagaman itu haruslah dijunjung tinggi.
"Mau jadi fans? Terserah! Asal jangan menjunjung tinggi tiap-tiap apa yang ada pada diri seseorang." Sebab setiap manusia pasti bisa lupa dengan kata-katanya sendiri, kehilangan jati diri seperti remaja, yang masih banyak kita temukan pada orang-orang dewasa ini.
***
Dan menurut saya, estetika dari Ajo Kawir di Seperti Rindu, Dendam Harus Dibayar Tuntas haruslah, benar-benar seidealis jiwa dari novel ini.
Komentar
Posting Komentar