Langsung ke konten utama

Sebuah Tulisan Awal tentang Nona Teh

Nona Teh, aku mungkin sangat mencintaimu. Jadi lupakanlah jika ada saat-saatnya nanti kalau aku tak mencintaimu. Jika aku tak mencintaimu lagi. Jikalau aku melupakanmu karena kamu tidak lagi bersamaku seperti Dari Cemara Sampai ke Rimbun -akan kubuat syair-syair tentangmu dan aku dengan judul tersebut, o Nona.
Nona Teh, bisa jadi aku bukan "mencintaimu", tapi aku mungkin "sangat mencintaimu", aku ingin kamu bersamaku terus dan kalau kamu mati aku bakal menangis, cinta. (Aku ingin menyebutmu "Cinta" tapi aku hanya bisa mengatakanmu "cinta" karena "Cinta" sudah ada: dia Kate Winslet di sebuah sekolahku dulu.
Nona Teh, kamu berkata bahwa ingin ketemu aku lagi, (Ya, aku memilih kata "ketemu" daripada "bertemu" karena itu lebih indah, dan beruntung sekali ada di KBBI, kutulis ini karena tak ingin biarkan orang berkata bahwa aku salah tulis atau tidak mengerti tata bahasa Indonesia) dan semoga saja memang begitu.
Nona Teh, kini aku berkumpul dengan sahabat-sahabat lamaku yang ditambah dengan teman-teman baru. Nona Teh; aku tak ingin menganggapmu teman baru bukan karena kita sudah lama bertemu, bukan juga karena ingin kamu menjawab cepat kata-kata kemaren - karena sudah kubilang, "Kamu jadi mayat hidup saja," sebelum kamu bilang "Ketahuan! Berarti suka nonton film horor!"
Nona Teh, aku sekarang dengan teman-teman lamaku membahas Tragedi Bunga-bunga 4 November. Ada ibu, yang berkata kalau "Orang-orang itu, kalau ada yang tidak di pihak mereka berarti musuh. Kalau di pihak mereka, barulah teman." Aku tidak di pihak mereka, tapi bukan berarti aku mendukung Sang Gubernur. Tapi kurasa Gus Harhar Si Paman Gembul juga akan berang dan menghasut anak-anaknya jika aku cukup berarti seperti Buya Syafii Maarif.
Aku tidak berarti, Nona Teh. Aku dibilang "Kamu hanya anak Buk Rez." oleh guru seniku, tapi memang kurasa tidak salah juga. Suatu saat nanti pun, Nona Teh, jika aku menjadi orang besar dan kamu duduk di sebelahku dalam mobil hitam panjang- aku juga berhasil karena aku anak ibuku. Dan tak mungkin juga aku bisa sampai kesini, bernafas juga selain berjalan kesini, tak mungkin kalau aku bukan anak ibuku- karena aku bukan nabi Adam.
Nona Teh, sekarang sedang hujan. Seandainya kemaren, karena hujan juga, aku mengambil jaket hitamku dan meminjamkannya padamu -kamu tentu takkan kuyup seperti Risalah Kemarin Malam. O Nona Teh, mungkin kamu akan bilang "Tak perlu" tanpa koma atau tanda titik. Aku pun tak tahu apa kamu sekarang sakit atau sehat, karena kamu tidak mau memberitahuku. Dan timbullah pertanyaan dariku:
"Nona Teh, apa kamu tak ingin aku mengkhawatirkanmu?"
Lalu tiba-tiba kamu datang ke rumahku, seperti yang pernah kubaca di ponselku. Kamu datang dan pakaian basah kuyup, lalu aku meminjamkan pakaian kesukaanku dan takkan mencuci-cucinya lagi apalagi membuatmu repot dengan menerima tawaranmu untuk mencucinya.
Nona Teh kemudian berkata padaku bahwa Nona Teh mencintaiku. Kubalas "Aku juga sangat mencintaimu." dan berharap Nona Teh mau menginap disini sekali pun aku harus tidur di pos ronda karenanya, dan Nona Teh berkata aku tak harus melakukannya, dan ketika aku melihat ponselku, seperti yang pernah kubaca, aku membaca sesuatu di kolom komentar Instagram yang ada foto Nona Teh tersenyum menatap kamera;
"Rest in peace."
Aku terdiam membaca komentar itu, aku memandang fotomu sebagai gadis paling imut yang pernah kutemui, yang mau denganku bahwa kamu adalah manusia "yang pernah mau denganku." Apakah ini lelucon? tanyaku kepadamu. Kau diam saja, dan ketika kutatap wajahmu- wajahmu tidak ada, aku ingin pamit tidur ke pos ronda- tapi kamu entah kemana. Mungkin pergi keluar, pikirku.
Dan sampai malam, aku tak menemukanmu lagi. Aku marah padamu karena kamu tidak pamit pergi. Tapi ketika kubaca-baca bahwa aku sudah meminjamkanmu pakaian-pakaianku sambil merapikan isi lemari yang sebenarnya sudah rapi; aku menemukan pakaian-pakaian itu masih ada.
***
Nona Teh, jika kamu merasakan hujan: Ingatlah aku jika kamu mencintaiku, dan jika aku mencintaimu aku teringat padamu karena becek, asap knalpot, pot bunga, daun kol, kolong meja, jaring laba-laba atau apa pun yang bisa kudapati di dunia ini. Dan kalau kamu tidak suka dengan apa yang kuingat, bisalah engkau ganti dengan wajahku.
Maka engkau bertemu denganku, berarti

(11 November 2016)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Indonesian People (an etnographic novel)

Indonesian People (an etnographic novel) Emil Reza Maulana Dedicated for Gadis Siput Contents 1.    The 2.    After Word 3.    Is Going On     1. The , If you're disappear from me, it will make a sad for sure. But. If I disappear from this world, who will be sad for me? I’m always thinking about that. Although I still shame to writing this letter, and still learning English at a course, I try to be brave. That’s because Ibuku, my firstly English teacher. I though I have to tell you some history of my life. And this is the key of my life. I will tell you everything that happen and happened to me, and anything that I have ever know and knew, also all the things that I founded. And one of them is you, Gadis Siput. Yes, you are. @ In a night, when I was be a patient of Yos Sudarso Hospital, I choose to walking around on the corridor. Someone just make me broken heart on this afternoon. A gir

Buku-buku yang Menggoda: Seorang Kuli Bangunan

Ibu pernah berkata, bahwa Jodie Foster itu sama dengan Nurul Arifin. Setiap filmnya bagus-bagus. Mereka memang pandai bermain peran. Catat. Bukan berakting. Catat. Bukan berbohong. *** Buku-buku itu juga sama," kata ibu. Atau ayah. Atau paman yang kolektor buku. Adik tiri ibu. Mereka semua berkata begitu. *** Paman yang kolektor buku, berkata "Setiap buku harus dijaga, kalau perlu disimpan kembali ke lemari. Museum? Bisa jadi, bisa juga jika: setiap buku yang bertanda-tangan penulisnya, dilelang." Maka aku pun menjaga buku-buku supaya tidak rusak. Namun tanganku kapalan, akulah kuli bangunan yang disebutkan di judul itu. Tiap-tiap pekerjaanku berat. Tak ada yang sanggup di antara keluarga kami. Kata ibu, waktu aku kecil, orang yang disebut adik tiri ibu itu pernah, menemukanku, di suatu tempat. Lebam sana-lebam sini. Biru-membiru-ungu. Tidak. Tidak terlalu ungu. Namun biru. Orang-orang mulai menghebohkanku.

Litak cerpen bola-bola West Sumatra, Litak yang menggambarkan Litak keadaan daerah, Litak yang sosialis Litak adalah paham wong Litak cilik Litak yang Litak dikarang Litak anti-Manchester United

"Harus West Sumatra! Nggak boleh Sumbar!! Apalagi Sumatra Barat: haram! Haram jatuhnya!!" Begitulah, kata-kata Datuk Inyo yang Terbuang, yang berkumis tipis dan berkepala botak; meski ada sedikit rambut tipis di kepalanya. Dia bilang itu tahalul, supaya bisa masuk MU atau Nurdiniyah. Kedua kelompok itu memang sudah terkenal, jauh di luar sana, di suatu tempat nan disebut Jepang van Indonesia, nan para pengikut kedua sekte populer seperti ada seorang, Sufi Bin Tele. Kabarnya, ia banyak menulis puisi di internet dan mendapat sambutan hangat dari para sastrawan koran-koran nasional. Selera memang selera." pernah satu kali, kawan Datuk bernama Tedi Hutan, nan tubuhnya penuh jamur dan koreng. Mengingatkanku pada tulisan Eropa, entah siapalah namanya, yang berjudul kira-kira: Cinta Sekalipun Kolera. Penulis yang sedang naik daun, bernama Eka pun, segan pada Penulis Kolera ini, entah tulisan itu dikatakan Eka sebagai puisi atau novel epik, tak jelas kudengar waktu Eka mengo