Langsung ke konten utama

Derai-derai Kayu Cemara di Suatu Tempat di Norwegia

Bung, merokok hidung itu, seperti berhadapan dengan hantu." kata Datuk Inyo yang Terbuang, sambil menggaruk-garuk kepalanya yang botak.

Benar saja, ketika aku pertamakali berhadapan dengan hantu, itu sudah lama sekali, sebenarnya, ada perasaan seperti membakar cerutu lalu asap yang dihisap itu dihembuskan melalui hidung.

Terkadang, jika kita sudah terbiasa mengepulkan asap dari hidung, terkadang dia akan terasa tidak terlalu sakit. Tapi pada mulanya, justru sangat berbeda.

Seringnya, akan pedih bukan main ketika asap itu tidak terbiasa, melewati dua lubang pernafasan. Dua sekaligus dengan pedih yang memedihkan serta sangat serius.

Ada kalanya pula, asap yang mau dihembus-hidung, seperti keluar lewat mulut. Secara biasa. Dan itulah kretek, dia hidup lewat rasa rempah-rempah. Khas negeri terjajah, sensasi dan cita rasa internasional.

***

Agam, kakakku satu-satunya, yang Indigo, selalu dengan keterbatasannya yang tidak sehebat anak-anak Kristal; yang selalu mengerti dan teratur, tertib dalam berkomunikasi-- Agam menyapaku dengan sentuhan fisik.

Ketika dia melewatiku, selalu dia sempatkan untuk menyapu bahuku. Menjagakanku dari alam entah berantah seperti dimensi Kafka On the Shoes. Bab sekian atas Manifestasi Murakami, yang super-realis atau kubu filsafatnya: metafisika.

Hantu-hantu.

Sejujurnya aku tak peduli, malah tak takut pada hantu-hantu. Mereka kubiarkan saja kelihatan, energinya, yang kupahami betul bahwa mahluk-mahluk metafisika, takkan sanggup menyentuh mahluk fisika sepertiku.

Tapi pada kesekian kalinya aku menghembus lewat hidung, aku merasakan desir pedihnya. Dan hidup mungkin memang telah terancang seperti itu.

***

"Kau sudah coba cerutu?" Kata Emil kepada Datuk Inyo yang Terbuang, eh bukan, kepadaku. Velly.

"Belum."

Saat itu aku dan Emil sedang berada di kantornya, sebuah ruang redaksi. Kursi Emil di ujung sana, dekat jendela-jendela yang setengah terbuka.

Emil sedang berdiri di dekat salah satu jendela, lantas mengeluarkan sebuah kotak besi karatan, warna biru-merbabu, agak hitam seperti sudah dipoles arang.

Ia mengeluarkan sesuatu dari dalam kotak ini, sebuah cerutu yang dikaitkan di giginya. Sebuah cerutu lagi, yang ditawarkannya tanpa menatap mataku.

"Mau, enggak?" Katanya, ketus sekaligus garang.

Aku teringat lagu-lagu Bob Marley, dan ya, seperti itu suaranya.

"Coba." Kata Emil.

Aku sebagai Velly, seorang Manusia Fiksi yang telah dikandungnya semenjak 2015 akhir, dan dibesarkannya hingga dewasa saat ini, tentu tak bisa menolaknya.

***

Kuhirup cerutu ini, yang merknya Ramayana, penuh sentimentil. Aku menikmati rasanya, yang agak-agak pahit, sambil memikirkan apakah aku dilabeli sebagai keponakannya Inyo yang Terbuang?

***

Namun, Datuk Inyo yang Terbuang, gambarnya terlempar jauh. Jatuh dan berderai pecah-pecah. Gambar-gambar lainnya buram, menyamar seakan dini hari akan malam lagi.

Selama itu.

Selama inilah, rasa pusing di kepalaku menggelayut. Menggelantung di pohon-pohon pikiran, entah Yggrasil atau apa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Indonesian People (an etnographic novel)

Indonesian People (an etnographic novel) Emil Reza Maulana Dedicated for Gadis Siput Contents 1.    The 2.    After Word 3.    Is Going On     1. The , If you're disappear from me, it will make a sad for sure. But. If I disappear from this world, who will be sad for me? I’m always thinking about that. Although I still shame to writing this letter, and still learning English at a course, I try to be brave. That’s because Ibuku, my firstly English teacher. I though I have to tell you some history of my life. And this is the key of my life. I will tell you everything that happen and happened to me, and anything that I have ever know and knew, also all the things that I founded. And one of them is you, Gadis Siput. Yes, you are. @ In a night, when I was be a patient of Yos Sudarso Hospital, I choose to walking around on the corridor. Someone just make me br...

Buku-buku yang Menggoda: Seorang Kuli Bangunan

Ibu pernah berkata, bahwa Jodie Foster itu sama dengan Nurul Arifin. Setiap filmnya bagus-bagus. Mereka memang pandai bermain peran. Catat. Bukan berakting. Catat. Bukan berbohong. *** Buku-buku itu juga sama," kata ibu. Atau ayah. Atau paman yang kolektor buku. Adik tiri ibu. Mereka semua berkata begitu. *** Paman yang kolektor buku, berkata "Setiap buku harus dijaga, kalau perlu disimpan kembali ke lemari. Museum? Bisa jadi, bisa juga jika: setiap buku yang bertanda-tangan penulisnya, dilelang." Maka aku pun menjaga buku-buku supaya tidak rusak. Namun tanganku kapalan, akulah kuli bangunan yang disebutkan di judul itu. Tiap-tiap pekerjaanku berat. Tak ada yang sanggup di antara keluarga kami. Kata ibu, waktu aku kecil, orang yang disebut adik tiri ibu itu pernah, menemukanku, di suatu tempat. Lebam sana-lebam sini. Biru-membiru-ungu. Tidak. Tidak terlalu ungu. Namun biru. Orang-orang mulai menghebohkanku....

Komik Indonesia

Malam ini aku terpukul sekali, berita ini aku sebarkan karena perasaan bersalah tersebut. Sedih sekali aku, karena hal yang kulakukan ini betapa kelewatan dan sangat tega. Aku menganggap bahwa komik Indonesia hanya berbentuk tiruan kartun atau realis-superhero Amerika atau Jepang, sambil mengingat-ingat Hasmi, R.A Kosasih, Sweta Kartika sambil menyebut-nyebut kalau banyak sekali orang yang bekerja untuk industri komik luar. Aku yang punya alasan utama dalam mengundur kelulusan SMP-ku, yang habis tiga tahun untuk menelusuri dan memproses penciptaan komik asli yang benar-benar khas Indonesia (ditambah ditahan satu tahun sama bu Kepala Sekolah dengan alasan bahwa harus mendewasakan diri, lalu satu tahun dengan hasil ujian IPS yang rendah). Lalu seorang teman di tempat tinggalku di Kulonprogo, yang sedang menempuh pendidikan S2 Penciptaan Videografi ISI Yogyakarta, yang tetap memiliki minat besar kepada seni rupa-- melarangku jadi orang jahat. Jahat karena aku membuat coretan tentang komik...